Jurnalisme Warga, Sepatu Kotor di Antara Harapan dan Kenyataan
Waktu memperlihatkan jam 14 lebih lima belas menit. Saya yang duduk dibalik kemudi tidak sabar kembali untuk selekasnya memicu mobil ke arah Siosar. Itu ialah satu teritori relokasi, tempat tinggal masih untuk masyarakat pengungsi erupsi Gunung Sinabung.
Hari itu saya bersama seorang rekanan kerja bawa 2 orang tamu agung dari Bandung. Mereka berdua wartawan, minimal suka menulis, dan membaca puisi. Kang Hikmat dan teteh Nisa, namanya.
"Ini saya Yus! Teo, abang Jeny". Begitu saya menelefon seorang rekan, Yus, namanya, sebentar saat sebelum mobil keluar dari gerbang hotel. Ia pebisnis kopi dan pemilik kafe. Belum juga sampai di jalan besar, bukannya sampai di Siosar, saya juga tidak sabar pastikan kedatangan kami kelak di kafe rekan saya itu.
Demikianlah, gagasan kami sehari itu, sesungguhnya lebih persisnya sepertiga hari. Lakukan liputan langsung, minimal ke tiga tempat dengan 3 atau bisa lebih pembicara. Saya ialah seorang supir yang sedang beraga jadi seorang wartawan yang akan lakukan reportase, hari itu.
Di telinga saya masih terngiang kuliah kang Hikmat di kelas barusan pagi. Ia, bercerita satu cerita mengenai Gabriel Garcia Marquez.
Gabo, panggilan wajarnya, ialah seorang sastrawan juara Nobel, seorang wartawan. Menurut Gabo "Wartawanme ialah sebuah sastra", dan reportase di matanya ialah narasi.
judi slot dikenal karena mudah dimainkan Gabo sampaikan hal tersebut, saat ia jadi tutor dalam lokakarya reportase ke tiga puluh wartawan Amerika Latin, yang diselenggarakan Yayasan Wartawanme Ibero-Amerika Baru.
Wartawan dengan media khusus kerjanya ialah kalimat, yang dikatakan sebagai irama oleh Gabo, bukan serangkaian bahasa yang berbelit-belit dan dikatakan dengan mendayu. Wartawan menurut dia perlu latihan untuk mempertajam insting. Ketrampilan ciri khas seorang wartawan tidak tercipta dari satu kejadian kebenaran, tetapi kesensitifan insting yang dilatih.
Aduh, lirih hati dari kuliah kang Hikmat barusan pagi makin membuat kepala pusing. Apa lagi dengarkan suara hati sendiri sekalian menyopir, di jalanan dengan beberapa pengendara yang nampaknya meluncur dengan terburu-buru. "Panorama jalanan inikah kisah wartawanme selaku sastra yang terburu-buru itu?", pikirku.
Bagaimana juga, kalimat pendek dari rekanan yang menyukai puisi membuatku memperkuat kemauan hari itu. Pancaindra akan melahirkan pancatresna, dalam lapangan wartawanme masyarakat (citizen journalism).
Rekan saya yang menjelaskan ini seorang wanita Jawa, Dewi Lely namanya. Tarik arti dari pernyataan dahsyatnya itu, tujuannya mungkin, jika seorang masyarakat mengulas fakta lapangan dan menyajikannya berbentuk narasi, bukan sebatas informasi, karena itu pancaindra akan terasah melahirkan kreasi publisistik yang berdimensi lima cinta.
Ahhh, kembali lagi. Tidakkah ini begitu membuat pusing kepala? Bagaimana juga saya akan merealisasikan kalimat mbak dokter gigi Dewi, temanku itu, jika memperbandingkannya dengan godaan maut kang Hikmat, dalam bebatan seringai misterinya. Ucapnya "Ucapkan sebanyaknya hal dengan sesingkat-singkatnya."
Bagaimana juga saya akan bercerita fakta-kenyataan yang membuat pusing kepala ini dalam tulisan yang sesingkat-singkatnya, sesaat perjalanan belum juga sampai setengah jalan ke arah? Saat itu saat yang ada untuk cari bahan narasi saja tidak penuh kembali sepertiga hari.
Biarkanlah cerita liputannya dibikin untuk hari lain. Untuk ini hari cukup mencuplik kalimat Romo Shindunata, seorang wartawan dengan tapak jejak cara yang panjang, yang ucapannya disampaikan ulangi oleh kang Hikmat dalam vocal teatrikalnya itu, "Untuk saya pekerjaan pertama reporter ialah pekerjaan kaki, baru selanjutnya pekerjaan tangan."
Rupanya benar, demikian keluar dari mobil, sepatuku langsung kotor. Jalanan berlumpur, beberapa ini hari hujan hampir tiada henti.
Ada banjir, ada longsor. Itu tidak cuma masalah pancaindra dan pancatresna. Di situ ada tangisan, ada nestapa. Dari beberapa orang yang kehilangan, bukan saja harta benda, dan juga nyawa keluarganya.
Baik, masuk ke dalam fakta, menginjak lapangan, sepatu memang seharusnya kotor, ya Romo?
Saya menyelami fakta, jika sepatu kotor ialah tanda-tanda jika saya sedang tidak menginjakkan kaki di surga. Ladangku ialah bentang tanah dengan deretan bukti-bukti yang tidak terisolasi. Tiap bukti menyebar sama-sama terkait. Kemungkinan saya sedang belajar jadi reporter, wartawanme masyarakat.
Karena didalamnya, saya bukan hanya jadi customer medium, yang cuman menelan semua sesuatunya. Benar-benar saya tidak prima, tetapi saya memiliki hak membuat, memantau, mengoreksi, menyikapi, atau sebatas pilih info yang pengin saya baca.