Kala Sebagian Wartawan dan Narablog Terjebak Lazy Journalism
Untuk saya, Kompasianival 2020 ini jadi waktu yang pas untuk melangsungkan flashback perjalanan singkat saya selaku narablog Kompasiana.
Beberapa lalu, satu tulisan simpel saya berkenaan figur beberapa anggota TNI-Polri beretnis Tionghoa rupanya termuat ulangi satu jaringan medium bikin di Indonesia. Sayang, tulisan saya termuat ulangi di dua koran lokal yang bergabung dalam jaringan medium itu tiada izin saya.
Benar-benar betul, diakhir tulisan ada referensi ke Kompasiana. Namun, tetap ini tidak bisa dibetulkan. Sama UU Hak Cipta No 28 tahun 2014 (UUHC) pasal 8, hak ekonomi yang digenggam pembuat meliputi juga penerbitan ciptaan. Cuman atas ijin penulis, satu kreasi bisa diedarkan faksi lain, lebih-lebih untuk maksud komersil.
Artikel komplet mengenai UU Hak Cipta bisa kita baca di sini.
Saya sempat menulis kritikan pada medium itu di Kompasiana. Tidak berlalu lama, dua redaktur mengontak saya untuk mohon maaf atas keteledoran wartawan mereka. Saya terima dengan semua transparansi hati.
Persoalan itu telah usai dengan nyaman. Saya sesungguhnya tidak menginginkan tulisan bersahaja saya jadi permasalahan untuk siapa saja. Toh apa yang saya catat saat itu ialah gabungan saja, bukan satu adikarya.
Saya sangat sayangkan ada pelaku reporter yang terjerat lazy journalism dengan berisi ulangi tulisan orang tiada ijin bukannya mengulas dengan bercucuran keringat dan air mata.
Sila baca penjelasan masalah sulitnya mengulas dalam tulisan Teopilus Tarigan bertema "Wartawanme Masyarakat, Sepatu Kotor di Di antara Keinginan dan Fakta" ini.
Perangkap Lazy Journalism
Salah satunya persoalan khusus yang menerpa reporter dan narablog (blogger) jaman kiwari ialah lazy journalism. Kemungkinan dapat ditranslate "wartawanme malas" atau "wartawanme tiduran".
Pengertian lazy journalisme atau wartawanme malas ialah praktek kemalasan wartawan dalam mengecek bukti dan kumpulkan info dari sumber pertama dan atau yang bisa dipercayai.
Di jaman digital ini, ada bujukan besar untuk reporter dan narablog atau blogger menjadi wartawan (masyarakat) yang malas. Malas melangsungkan interviu ke pembicara. Malas membaca beberapa sumber sah. Malas menyusun kalimat sendiri.
Pelaku reporter dan narablog pada akhirnya jadi tukang copy-paste atau tulis tempel saja, khususnya dengan mengopi beberapa sumber dari internet.
judi slot dikenal karena mudah dimainkan Medium besar di negara maju juga terjerat lazy journalism
Saya kaget saat membaca satu penjelasan tarik anggitan Nick Davies di situs TheGuardian.com berkenaan peristiwa lazy journalism. Nick Davies mengulas hasil pengamatannya berkenaan beberapa media besar di Inggris Raya.
Riset Kampus Cardiff yang mensurvei lebih dari 2.000 informasi Inggris Raya dari 4 koran harian khusus mendapati suatu hal yang memprihatinkan.
Beberapa periset mendapati jika cuman 12% informasi yang semuanya terbagi dalam materi yang benar-benar dicheck keakuratannya oleh reporter. Ada 8% informasi yang sulit ditegaskan apa dapat diverifikasi atau mungkin tidak.
Beberapa periset mendapati, 80% informasi keseluruhannya, sejumlah besar atau sejumlah kecil dicatat berdasar bahan "sisa" yang disiapkan oleh kantor informasi dan industri jalinan warga.
Implementasi dari ke-2 penemuan itu benar-benar memprihatinkan. Bila dahulu wartawan ialah pengumpul dan penulis informasi yang aktif, saat ini mereka biasanya cuman jadi pengolah pasif dari materi sisa yang tidak diverifikasi kebenarannya.
Beberapa informasi bahkan juga ialah bentuk kampanye atau publisitas dengan muatan promo beberapa politisi dan pelaku bisnis.
Mass media yang pekerjaan intinya ialah memfilter dusta sudah jadi benar-benar rawan pada kecurangan. Nick Davies bahkan juga mengakui, mass media di Inggris Raya terjebak dalam produksi massal dusta, distorsi, dan propaganda.
Salah satunya factor penyebab lazy jounalism rupanya ialah tingginya tuntutan dari mass media pada reporter. Reporter (medium daring) zaman saat ini dituntut serbabisa dan produktif menulis informasi yang laku di-click. Saat yang disiapkan mass media benar-benar minim. Beban kerja wartawan tinggi sekali.
Waspada Perangkap Lazy Journalism
Silahkan kita secara jujur menyimak content informasi mass media Indonesia sekarang ini. Bahkan juga koran-koran besar juga terjerat lazy journalism. Salah satunya tanda-tanda yang menonjol mata ialah biasanya informasi koran cuman tampilkan ulangi upload sosial media.
Pelaku reporter cuman duduk manis, mengopi upload posisi netizen dan atau selebritis, mempermak sekedarnya, lalu menyiarkan informasi. Tidak ada usaha untuk mengontak pembicara dan kewenangan berkaitan untuk mengecek keakuratan bukti.
Yang lebih kronis kembali, beberapa informasi koran sesungguhnya tidak pantas disebutkan informasi sebab:- Tidak berisi usaha interograsi dan klarifikasi dari reporter yang pilih tiduran bukannya menginterviu sumber pertama
- Cuman berisi pengakuan dari salah satunya faksi saja, tiada lakukan konsep covering both sides atau mengulas seluruh pihak.
- Informasi cuman memburu click dengan judul berlebihan dan bahasa yang jauh dari etika kesopanan (condong berkonotasi seksual dan diskriminatif).
Swakritik untuk diri dan kawan-kawan narablog
Tulisan ini sebenarnya ialah swakritik untuk diri saya sendiri. Kita kerap tertarik untuk lakukan lazy journalism. Cuman menulis ulangi posisi di sosmed atau informasi yang kita dengar tiada mengecek kebenaran bukti dari beberapa sumber tepercaya. Walau sebenarnya, kita dapat menulis hal unik pengalaman dari dan penilaian kita sendiri.
Selaku narablog atau wartawan masyarakat, kita juga terlilit pada keharusan kepribadian untuk menulis yang betul. Terus check bukti. Jangan terjerat politik berat samping.
Hadirkan sosok-sosok simpel yang inspiratif. Bisa saja, figur itu ialah keluarga dan rekan sendiri. Salam literasi. Respek dan salam saya untuk kawan-kawan Kompasianer yang benar-benar jadi wartawan masyarakat mengagumkan!